Friday, July 31, 2009


Motorola W 233 Renew Motorola mengumumkan sebuah handphone baru yang ramah lingkungan yang mana menurut mereka handphone baru tersebut bebas dari karbon dan terbuat bahan-bahan yang dapat didaur ulang.

Moto W233 Renew dibuat dari plastik hasil dari daur ulang botol minuman.

Sebagai tambahan Motorola bekerjasama dengan perusahaan nirlaba Carbonfund.org yang akan memastikan bahwa karbondioksida yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, distribusi dan penggunaan hp tersebut akan menggunakan sumber energi yang dapat diperbaharui dan mendukung upaya penghijauan.

Motorola mengatakan bahwa kemasan yang digunakan untuk membungkus handphone Moto W233 Renew serta semua bahan-bahan didalamnya akan dapat didaur-ulang. Sebuah amplop pos yang sudah dibayar akan disertakan juga dalam kemasan hp tersebut yang nantinya dapat digunakan oleh si pengguna untuk mengembalikan handphone lamanya untuk didaur-ulang tanpa mengeluarkan biaya.

Moto W233 Renew menawarkan baterai yang dapat dipakai selama sembilan jam waktu bicara dan akan tersedia untuk pelanggan di Amerika Serikat dengan tarif T-Mobile.


Pada zaman sekarang, apalagi jaman krisis energy seperti sekarang ini kita harus pandai-pandai memutar otak kita untuk membuat bahan baar alternatif. banyak bahan bakar alternatif yang dapat kita buat dengan mudah. bahan bakar alternatif itu seperti briket. Briket adalah salah satu bahan alternatif yang dapat dibuat dari bahan2 yang sudah di buang oleh masyarakat. bahan yang digunakan hanyalah sampah-sampah organik, serbuk gergaji, batu bara, dll yang telah diproses pengarangan dan dipadatkan dengan tekanan tertentu dengan bentuk yang kita inginkan.

Tapi kali ini saya akan mengajarkan kepada anda cara pembuatan briket yang tahan lama dan ramah lingkungan karena terbuat dar bahan2 organik yaitu :
1. Membuat briket jenis ini relatif murah dan sederhana. Sampah organik terlebih dahulu dibakar dalam sebuah lubang sampai menjadi arang. Arang lalu ditumbuk, dihaluskan, dan disaring menjadi bubuk.
2. Setelah diberi campuran perekat (tepung kanji), bubuk lalu dicetak.Dalam prosesnya, hanya arang yang berwarna hitam pekat yang diolah karena lebih berkualitas dalam menghasilkan energi. Arang daun ini ditumbuk hingga halus dan dicampur dengan tepung kanji dengan takaran 1 berbanding 4. Tepung kanji yang digunakan hanya sedikit karena hanya sebagai perekat. Setelah tercampur rata, adonan ini dicetak sesuai kebutuhan dan dijemur hingga kering. Setelah dijemur sampai kadar airnya hilang, terbentuklah briket sampah yang siap pakai.
3. Selain bisa menggantikan minyak tanah, arang briket juga ramah lingkungan karena tak mengandung zat kimia yang membahayakan. Briket ini juga hemat dan bisa menyala lebih lama, yakni enam jam terus-menerus tanpa perlu dikipasi. Setelah dipakai, ampas briket sampah tetap bermanfaat sebagai pupuk tanaman

Ini adalah alat yang di pakai dalam pembuatan briket sampah organik :
Tong
Saringan
Korek api
Penumbuk / mortar
Pengaduk
Cetakan
Bahan yang digunakan antara lain :
Kanji
Sampah organik

Beberapa ilmuwan Selandia Baru telah memperingatkan bahwa Kutub Selatan mencair lebih cepat daripada perkiraan.

Profesor Peter Barrett dari Antarctic Research Center, Victoria University mengatakan, jumlah es yang hilang mencapai 75 persen sejak 1996, dan bertambah dengan cepat.

Hilangnya gletser di ujung Kutub Selatan mengakibatkan kenaikan permukaan air laut 0,4 Mm per tahun, tambahnya seperti dilaporkan kantor berita Xinhua.

"Hilangnya es global dari Greenland, Antartika dan gletser lain menunjukkan permukaan air laut akan naik antara 80 centimeter dan 2 meter sampai 2100," kata Barett.

Direktur pusat penelitian Profesor Tim Naish, yang memimpin satu tim peneliti yang membor jauh ke dalam batu di Kutub Selatan dan menemukan catatan kuno dari yang terakhir bahwa CO2 atmosfir mencapai tingkatnya sekarang.

Mereka mendapati, 3 juta sampai 5 juta tahun lalu, permukaan air laut cukup hangat untuk mencairkan banyak bagian es Kutub Selatan ketika CO2 atmosfir hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan kondisinya hari ini.

Naish mengatakan es di bagian barat Antartika akan mencair sebelum lapisan es yang lebih besar di bagian timur Kutub Selatan karena es itu berada di bawah permukaan air laut dan menghangat bersama dengan air samudra.

Namun, ia mengatakan penelitian tersebut mengangkat pertanyaan yang tak terjawab mengenai berapa banyak CO2 atmosfir perlu naik untuk mencapai temperatur sampai 2 derajat celsius atau lebih.

Kondisi CO2 di atmosfir sekarang berjumlah 387 bagian per juta, naik dari sebanyak 280 bagian per juta pada awal Revolusi Industri.

Es di laut Kutub Utara telah menipis secara dramatis sejak 2004, dan es yang lebih tua serta lebih tebal pecah dan membuka jalan bagi es yang lebih muda dan lebih tipis, yang mencair pada musim panas di Bumi belahan utara, demikian laporan beberapa ilmuwan di lembaga antariksa AS, NASA.

Para peneliti selama bertahun-tahun telah mengetahui, es yang menutupi Laut Kutub Utara telah menyusut di satu daerah, tapi data baru satelit yang mengukur ketebalan es memperlihatkan volume es laut juga menyusut.

Itu penting karena es yang lebih tebal dan lebih ulet dapat bertahan dari musim panas ke musim panas berikutnya.

Tanpa lapisan es, perairan gelap Laut Kutub Utara lebih mudah menyerap panas sinar Matahari dan bukan memantulkannya sebagaimana terjadi pada es yang berwarna cerah, sehingga menambah kecepatan dampak pemanasan.

Melalui laporan yang dikirimkan pesawat antariksa ICESat, yang digunakan NASA, para ilmuwan menggambarkan, secara keseluruhan es Laut Kutub Utara menipis sebanyak 7 inci (17,78 centimeter) per tahun sejak 2004, sebanyak 2,2 kaki (0,67 meter) selama empat musim dingin. Temuan mereka dilaporkan di "Journal of Geophysical Research-Oceans".

Seluruh daerah yang tertutup es yang lebih tua dan lebih tebal yang sintas setidaknya selama satu musim panas kini menyusut sebanyak 42 persen.

Di luar itu, data baru satelit memperlihatkan, bagian es tua yang keras menipis secara bersamaan dengan meningkatnya jumlah es muda yang rapuh, keterangan yang sulit dilihat dengan jelas dari data sebelumnya.

Pada 2003, sebesar 62 persen dari seluruh volume es di Kutub Utara tersimpan di dalam lapisan es selama bertahun-tahun dan 38 persen es musiman pada tahun pertama. Sampai tahun lalu, 68 persen adalah es tahun pertama dan 32 persen es tahun-tahun berikutnya yang lebih keras.

Tim peneliti itu mengatakan, kelainan dan pemanasan global belakangan ini diduga di dalam sirkulasi es laut sebagai penyebabnya.

"Kita kehilangan lebih banyak es tua, dan itu penting," kata Ron Kwok dari Jet Propulsion Laboratory di Pasadena, California, sebagaimana dilaporkan kantor berita Inggris, Reuters.

"Pada dasarnya kami mengetahui berapa banyak daerah tersebut menyusut, tapi kami tidak mengetahui seberapa tebal."

Untuk mengetahui volume es itu, pesawat antariksa NASA, ICESat, mengukur seberapa tinggi es tersebut mencuat di atas permukaan laut di Kutub Utara, kata Kwok dalam satu wawancara telefon.

"Jika kami mengetahui seberapa banyak es mengambang di atas, kami dapat menggunakan itu untuk menghitung sisa ketebalan es tersebut. Sekitar sebilan per sepuluh es itu berada di bawah air," kata Kwok.

Pengukuran ICESat tampaknya mencakup seluruh Kutub Utara, dan semua itu digabungkan dengan pengukuran volume es yang dilakukan kapal selam, yang hanya mencakup beberapa kali perjalanan di seluruh daerah tersebut.

Es Laut Kutub Utara mencair sampai tingkat paling rendah keduanya tahun lalu, naik sedikit dari tingkat rendahnya sepanjang waktu pada 2007, demikian Pusat Data Es dan Salju AS

Es Kutub Utara adalah satu faktor dalam pola cuaca dan iklim global, karena perbedaan antara udara dingin di kedua kutub Bumi dan udara hangat di sekitar Khatulistiwa menggerakkan arus udara dan air, termasuk arus yang memancar.

Intensitas musim hujan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, bergeser dari siklus 20 tahun, sehingga telah mengganggu aktivitas para petani, nelayan, serta kelompok masyarakat lain setempat yang usahanya bergantung dengan kondisi cuaca.

Pergeseran tersebut terjadi sejak 2005 dan pergeseran terjauh berlangsung pada tahun 2008 lalu.

Jasirin, Kepala Stasiun Meteorologi Luwuk (ibu kota Kabupaten Banggai), menjelaskan, puncak curah hujan di daerahnya selama 20 tahun sebelum tahun 2005 selalu terjadi antara bulan Maret hingga Mei.

Akan tetapi, setelah itu, puncak hujan terjadi hanya pada bulan Mei selama 24 hari dengan intensitas curahnya mencapai 188 milimeter.

Bahkan pergeseran ekstrem terjadi pada tahun 2008, di mana puncak hujan terjadi di bulan Juli selama 27 hari dengan besaran curah 466 milimeter, sehingga sempat menimbulkan banjir besar di mana-mana.

Jasirin memperkirakan, pergeseran puncak curah hujan tersebut akibat pengaruh dari pemanasan global yang mendorong terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu.

"Pergeseran siklus hujan itu sudah kami diprediksi sebelumnya, menyusul tingginya tingkat curah hujan lokal di Kabupaten Banggai selama empat tahun terakhir dan merupakan fenomena terbaru," tuturnya.

Menurut dia, munculnya hujan lokal dengan intensitas tinggi juga banyak dipengaruhi oleh rusaknya kawasan hutan dan daerah hijau di perkotaan dalam jumlah besar, selain faktor tingginya polusi udara.

"Masalah-masalah tersebut yang kemudian mengakibatkan daya dukung lingkungan menjadi rendah, sehingga rentan memunculkan bencana banjir, tanah longsor, hingga angin kencang," katanya.

Yang pasti, akibat dampak dari pemanasan global tersebut telah memengaruhi jadwal tanam petani, aktivitas nelayan, pelayaran kapal-motor, dan kegiatan penerbangan di daerahnya.

Mencoba beramah tamah dengan lingkungan tak harus jauh-jauh dan sulit-sulit. Cukup kita perhatikan penggunaan kabel pada sebuah data center.

Menurut penelitian Gary Shamshoian, Senior Mechanical Engineer di Genentech Inc, konsumsi energi sebuah data center 15 kali lebih banyak dari pada sebuah gedung kantor pada umumnya, bahkan dalam kasus tertentu bisa mencapai 100 kali lipat lebih banyak.

Sedangkan menurut penelitian dari Lawrence Berkeley National Laboratory milik Departemen Energi AS, konsumsi untuk server dan peralatan data center di AS setara dengan lima pembangkit listrik berkapasitas 1.000 megawatt.

"Kabel mungkin terlihat sebagai sesuatu yang sepele, tapi jika kita bisa mengatur dengan baik, kita bisa meningkatkan efisiensi pada sisi konsumsi energi," ungkap John Duffy, Konsultan Senior, Regional Business Development Siemon di Jakarta, Kamis (30/7).

Melihat besarnya konsumsi energi dari sebuah data center, jika kita bisa menghemat sebagian kecil saja, hasilnya akan menjadi sangat signifikan.

John menjelaskan, efisiensi energi bisa dilakukan minimal dengan dua cara, yaitu menggunakan kabel yang berkualitas baik serta dengan pengaturan infrastruktur kabel yang baik.

"Pengaturan dan penggunaan infrastruktur kabel yang baik akan meminimalisir interference data dan mengurangi panas yang dihasilkan, sehingga bisa menghemat biaya dari mesin pendingin dan listrik yang dipakai," tambah John.

Menurut Kiki Randall, Country Manager Global Technology Services IBM Services, dunia usaha sangat memerlukan peningkatan efisiensi pada sisi konsumsi energi.

"Bersama dengan Simeon sebagai mitra kami, kami akan berbagi keahlian, kemampuan, dan teknologi untuk menciptakan solusi yang dibutuhkan pelanggan kami untuk mengatasi permasalahan konsumsi energi saat ini," ujar Kiki.

IBM dan Seimon, perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur jaringan, saat ini sedang melakukan kerjasama mengembangkan data center yang lebih ramah lingkungan. Mereka akan memulainya dari kabel.

Global Warming



Global warming is the increase in the average temperature of the Earth's near-surface air and oceans since the mid-20th century and its projected continuation. Global surface temperature increased 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) during the last century. The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) concludes that increasing greenhouse gas concentrations resulting from human activity such as fossil fuel burning and deforestation are responsible for most of the observed temperature increase since the middle of the 20th century.The IPCC also concludes that variations in natural phenomena such as solar radiation and volcanoes produced most of the warming from pre-industrial times to 1950 and had a small cooling effect afterward.These basic conclusions have been endorsed by more than 45 scientific societies and academies of science, including all of the national academies of science of the major industrialized countries.

Climate model projections summarized in the latest IPCC report indicate that the global surface temperature will probably rise a further 1.1 to 6.4 °C (2.0 to 11.5 °F) during the twenty-first century.The uncertainty in this estimate arises from the use of models with differing sensitivity to greenhouse gas concentrations and the use of differing estimates of future greenhouse gas emissions. Some other uncertainties include how warming and related changes will vary from region to region around the globe. Most studies focus on the period up to the year 2100. However, warming is expected to continue beyond 2100 even if emissions stop, because of the large heat capacity of the oceans and the long lifetime of carbon dioxide in the atmosphere.
An increase in global temperature will cause sea levels to rise and will change the amount and pattern of precipitation, probably including expansion of subtropical deserts.The continuing retreat of glaciers, permafrost and sea ice is expected, with warming being strongest in the Arctic. Other likely effects include increases in the intensity of extreme weather events, species extinctions, and changes in agricultural yields.

Political and public debate continues regarding climate change, and what actions (if any) to take in response. The available options are mitigation to reduce further emissions; adaptation to reduce the damage caused by warming; and, more speculatively, geoengineering to reverse global warming. Most national governments have signed and ratified the Kyoto Protocol aimed at reducing greenhouse gas emissions. A small number of scientists dispute the consensus on global warming science.